Indonesia Raya 1
When eyes are bright, and all around is dark,
When the light fades, and eyes are blind,
Life is no meaning, I have no home
I drag my feet, I see no horizon
It is dark outside, It is dark inside where there is nothing.
I do not know if I even have a face
I cannot see the scratches on my face
I do not know who is you, me, him, you, me, her
I do not know where I am
I hear feet stamping and bodies colliding
No one know where is north, where the south
I hear low rumble, you moaning, me cursing,
People accusing each other, full of anger
No one know where we should be led
Whether there is light, what to hope for
We try to be humble, to make room for each other
The dark is in ourselves, not the world
Puisi di atas merupakan salah satu karya Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, seorang seniman dan tokoh intelektual Islam yang pada bulan Maret 2011 pernah mendapatkan penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Seniman yang sering dipanggil Cak Nun ini adalah pendiri dari komunitas masyarakat "Padang Bulan" yang telah membawahnya berkelilingi Indonesia bersama Gamelan Kiai kajeng. Meski tak pernah bersentuhan paham dengan Cak Nun namun karya-karyanya telah membius say dan puluhan orang untuk berpikir mengenai kemanusiaan.
Salah satu karyanya yang pantas kita hadirkan kembali adalah Dari Pojok Sejarah : Suara Terpinggirkan untuk Negeri. Buku “Dari Pojok Sejarah” adalah kumpulan catatan catatan refleksi Cak Nun mengenai kondisi kebangsaan kontemporer kala itu, catatan ini lebih mirip surat-surat terbuka Cak Nun untuk seorang sahabat imajinernya, yang dari awal ia sebut dengan sapaan “dil”. Meski lebih mirip sebuah surat yang ditulis untuk sahabatnya, catatannya ini tetap tidak kehilangan karakternya, bahasanya yang lugas, apa adanya, blak blakan, refleksif, kritis dan agak ‘nakal’ serta kental dengan tradisi kepesantrenannya mewarnai kata demi kata yang dirangkai.
Cak Nun, agaknya sekarang pun masih konsisten berada di pojok sejarah. Publik yang hanya bisa mengenal seseorang lewat media massa, koran maupun TV, barangkali akan sulit bertemu Cak Nun. Memang ketika Masa Orde Baru sedang on the top, pria kelahiran Jombang ini tak diragukan lagi sangat kritis tepat pada saat orang bungkam. Tulisan-tulisannya menyodok, menyoal, dan mempertanyakan ketidakmanusiawian dan ketidakwajaran yang mengitari kita serta yang memenuhi jarak antara rakyat dan negara.
Cak Nun pun mengambil langkah untuk lebih berkonsentrasi di bawah. Membangun pemahaman di kalangan rakyat, serta lebih meneguhkan kesadaran dan nilai-nilai di antara kawan-kawan yang melingkar bersamanya. Cak Nun seolah kembali ke pojok sejarah. Itulah sebabnya, buku ini dihadirkan secara terbatas, dijual hanya untuk jaringan dan jamaah Cak Nun yang selama ini setia menemaninya mengelola sejarah dari pojok sejarah dan sesekali saja melintas-lintas di pusat-pusatnya. Kebetulan kerap mereka mengusulkan agar buku-buku lama Cak Nun dipublikasikan kembali. Barangkali agar buku-buku itu tidak ketlingsut di pojok laci sejarah yang makin pengap ini.
Dari koordinat semacam itulah, agaknya Cak Nun merawat kesetiaannya pada nilai-nilai yang ia aktualisasikan di tengah-tengah masyarakat. Dari sudut itu pula sepertinya ia mengontribusikan dirinya untuk mencari solusi atas pelbagai masalah, dari soal korban lumpur Sidoarjo hingga pembalakan liar hutan di Ketapang Kalimantan Barat. Dari orang yang sms sambat tidak punya uang buat nebus obat anaknya hingga sambatan-sambatan yang besar-besar. Semua itu dilakukan dari pojok sejarah, agak luput dari kamera media pewarta sejarah.
Cak Nun menjadi orang yang langka dengan pemikiran langka yang mecoba mengubah arah pemikiran kita. Dari hal-hal feodal yang telah mengakar dimasyarakat, hal ini bukan untuk dirinya sendiri namun untuk orang lain agar menjadi pribadi yang baik dan mampu terbuka dalam menerima perbedaan yang ada.
___________________________________________________________________________
"Kamu boleh mengidolakan seseorang, tapi jadilah dirimu sendiri".
Umbu Landu Paranggi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar